Pasukan anti teror Kopassus sedang berlatih. (Foto: kopassus.mil.id)
18 Agustus 2009, Jakarta - Dalam penanggulangan terorisme, kemampuan personel TNI Angkatan Darat sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh bangsa ini. Hanya saja, TNI terikat aturan dan bergerak atas permintaan Polri.
"TNI AD punya tiga peran yang seharusnya dimanfaatkan oleh bangsa ini," kata Kepala Dinas Penerangan AD, Brigjen TNI Christian Zebua, di kantornya Jl Veteran, Jakarta, Selasa (18/8/2009).
Tiga peran yang dimaksudkan Christian adalah, pertama kemampuan deteksi dini, pencegahan dini, dan lapor cepat melalui Desk Anti Teror yang sudah terbentuk mulai dari pusat sampai daerah sampai tingkat Kodim, Koramil, dan Babinsa.
"Babinsa ini yang akan memberdayakan mitranya, yaitu masyarakat. Diharapkan masyarakat berani melapor bila ada hal-hal yang mencurigakan, atau berani melawan dan menangkap bila itu benar teroris," jelasnya.
Kemampuan kedua, lanjut Christian, pasukan AD memiliki kemampuan memukul atau menanggulangi terorisme. Kemampuan ini sudah dimiliki satuan Detasemen-81 Penanggulangan Teror Kopassus. Sementara di Kostrad sendiri ada tiga bataliyo Raider antiteror, Pleton Pengintai Tempur (Tontaipur).
"Sementara di setiap Kodam kita memiliki satu batalion antiteror," ujarnya.
Kemampuan ketiga, AD juga memiliki ahli penjinak bom dan bahan peledak. Semua ini berada di bataliyon Zeni Tempur (Zipur) dan Detasemen Zeni Tempur (Denzipur).
"Apakah kemampuan ini mau dimanfaatkan oleh negara atau tidak? Nah, ini kan pertanyaannya," ungkap Christian.
Namun begitu, Christian menegaskan, TNI AD siap membantu polisi dalam menangani terorisme. Hanya saja bila semua jeli melihat UU TNI, disebutkan fungsi TNI selain perang di antaranya dalam memerangi terorisme, bukan hanya membantu.
"Tapi dengan keluarnya Keppres untuk membantu polisi. Jadi lebih tinggi mana, UU dan Keppres? Itulah dinamika. Kita selalu diikat dengan aturan dan bergerak atas permintaan polisi," pungkasnya.
Densus 88 Tangkap WNA Arab Saudi di Nagrek
(Foto: kopassus.mil.id)
Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap Ali Muhammad Abdullah di Kawasan Nagrek, Kuningan, Jawa Barat. Dia ditangkap karena diduga terlibat dalam jaringan teroris.
Ali Muhammad diketahui warga Arab Saudi. "Dia warga asing, Arab Saudi," kata Susi, pemilik kontrakan yang disewa Ali, seperti ditayangkan tvOne, Selasa 18 Agustus 2009.
Ali,tambah dia, ditangkap bersama seseorang bernama Sholehah, yang merupakan warga negara Indonesia. Sholehah diketahui mantan tenaga kerja yang pernah bekerja di Arab Saudi.
"Kemarin dia berangkat ke sana [Nagrek] bersama seorang wanita bernama Sholehah," kata Ujang, salah seorang warga.
Namun, saat ini belum ada keterangan resmi dari polisi. Ali diduga sebagai penyalur dana kegiatan terorisme.
Menurut Pengamat Terorisme, Al Haidar, sumber dana teroris tak mesti dari Jamaah Islamiyah (JI) atau jaringan Al Qaeda. "Masyarakat biasa, di wilayah Arab, ada yang mau memberikan dana kepada kelompok jihad," tambah Haidar.
Hebatnya, dana tersebut diberikan secara terus menerus. "Banyak penyumbang untuk kelompok jihad, dari Arab saja. Masyarakat [penyumbang] itu sudah masuk aliansi tapi tidak masuk sel," tambah Haidar.
Sebelumnya, sempat beredar kabar, SJ pernah meminta tolong Jarmo, warga Kompleks Candraloka di Bogor, untuk membuka rekening bank.
Diduga rekening tersebut akan digunakan menampung dana sebesar Rp 1 miliar, untuk dana operasional pengeboman. Namun, menurut Firman Kurniawan, bos Klinik Thibbun Nabawi Al-Iman, Saefudin memiliki rekening atas namanya sendiri.
"Dia punya rekening di BCA Bogor atas namanya sendiri. Saya pernah melihat. Bahkan dulu saya sempat tahu nomor rekeningnya. Tapi sekarang sudah lupa, karena sudah lama,” kata dia, kepada VIVAnews Sabtu 15 Agustus 2009.
Kata Firman, uang itu diduga milik orang berwajah Arab yang sempat dikenalkan kepadanya.
detikNews/VIVAnews
No comments:
Post a Comment