Thursday, August 13, 2009

Singapura Berpikir Komprehensif dan Taktis


14 Agustus 2009 -- Walau tidak akan ada batasnya, kemakmuran dan kesejahteraan adalah hal utama yang dikejar orang. Itulah juga yang dikejar Singapura. Sukses ekonomi adalah salah satu hasil prestasi utama Singapura. Negara kota ini memiliki penduduk sekitar 4 juta jiwa dengan status sosial ekonomi setara dengan negara termakmur di dunia.

Setelah lepas dari Malaysia tahun 1965, yang pernah membuat Lee Kuan Yew bermuram durja, negara ini berambisi menjadi lokasi industri manufaktur, kemudian menjadi sentra sektor jasa, karena hanya itu yang menjadi andalannya. Proses perizinan, pelayanan, kepiawaian memikat kedatangan investor dan turis menjadi pedoman utama dalam setiap kebijakan dan tindakan.

Pendidikan didorong bahkan diberi subsidi untuk menjadikan warga cerdas, cekatan, dan terampil. Nasionalisme dan pertahanan diri juga merupakan aspek yang lain yang diperkuat, termasuk lewat wajib militer, kampanye kebanggaan nasionalisme. Pengadaan senjata negara ini juga tergolong tercanggih di kawasan. Singapura salah satu negara yang disegani dan tidak bisa dipandang sepele soal kekuatan militer.

Suka atau tidak suka, Singapura malah menjadi salah satu andalan Indonesia dan warganya untuk berwisata. Warga Indonesia adalah pengunjung internasional terbanyak di Singapura. Jika bepergian ke berbagai pelosok dunia, mayoritas warga Indonesia menggunakan maskapai Singapore Airlines. Singapura juga menjadi andalan transit ekspor/impor dan kegiatan sosial ekonomi lainnya. Singapura telah menjadi sentra dan ibu kota bisnis bagi kawasan, termasuk Indonesia.

Masalah muncul


Kebijakan Singapura komprehensif dan jelas mengutamakan kepentingan untuk sisinya. Ini hal yang masuk akal, sebagaimana juga dilakukan semua negara. Sekeras apa pun upaya untuk mengkritik atau membenci Singapura, negara ini punya kedaulatan. Namun, jika kebijakan Singapura ini bersinggungan dengan negara lain, terkadang atau sering masalah muncul.

Indonesia menjadi ”korban” untuk ini, di samping Malaysia. Argumentasi Singapura pun kuat dengan kebijakannya yang antisipatif dan visioner, taktis, untuk tidak mengatakan agak licik. Negara mana yang tidak taktis atau katakanlah ”licik” jika menyangkut hubungan internasional.

Dalam konteks kelicikan ini, Indonesia perlu paham, dengan melakukan hal serupa. Namun, Indonesia jelas kalah jauh dan kalah ”licik”. Hal ini terlihat, misalnya, ketika Indonesia menginginkan ekstradisi atas para koruptor Indonesia yang ”bersembunyi” di Singapura.

Untuk mewujudkan perjanjian ekstradisi, Singapura meminta agar hal itu dilengkapi dengan perjanjian pertahanan, yang intinya Singapura bisa menggunakan latihan perang di wilayah RI dengan relatif leluasa. Di sini muncul masalah karena menyinggung soal kedaulatan.

Artinya, perjanjian ekstradisi harus dilengkapi dengan perjanjian pertahanan itu. Keanehan ada di sisi Indonesia. Dan, tanpa proses yang tidak diketahui umum, muncullah perjanjian ekstradisi sekaligus dengan perjanjian pertahanan yang ditandatangani di Bali.

Kemudian muncul protes dari DPR dengan sikap tidak mau meratifikasi perjanjian itu. Apa kata Singapura. ”Setelah perjanjian itu ditandatangani, muncul penolakan. Padahal, setelah penandatanganan, kita malah berpesta, bahkan melakukan karaoke,” kata Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo.

Mandeklah keputusan itu, dengan sikap Singapura yang lebih ”menyalahkan” Indonesia. Namun, Perdana Menteri Lee Hsien Loong (BG Lee) mengatakan, ”Singapura mengajukan usulan baru supaya perjanjian itu bisa hidup lagi.”

Akan tetapi, sikap Singapura tetap kukuh dengan memaketkan perjanjian ekstradisi dengan pertahanan. ”Namun pihak Indonesia memilih untuk menahan dulu persoalan ini,” kata BG Lee.

Tampaknya, bola kini ada di pihak Indonesia. Dan, pertanyaan muncul, bagaimana Indonesia bisa kecolongan? Bagaimana Indonesia, setidaknya segelintir pihak, bisa mengikuti proses yang berakhir pada perjanjian ekstradisi dan pertahanan?

Adakah sikap lama masih muncul, yakni setiap apa pun yang dilakukan pemerintah, sudah pasti disetujui DPR? Apakah dalam penyusunan perjanjian ekstradisi, yang sangat dimungkinkan berdasarkan hukum internasional, harus dengan mengorbankan ”kedaulatan” wilayah RI hingga tingkat tertentu.

Kesimpulannya, kita tidak siap dan tidak paham dengan strategi Singapura yang taktis dan komprehensif. (Simon Saragih)

KOMPAS

No comments:

Post a Comment