Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi untuk kedaulatan Indonesia berunjuk rasa di depan halaman Kementrian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (19/8). Mereka menuntut Pemerintah melanjutkan proses hukum terhadap penangkapan 3 petugas patroli perairan Kementrian kelautan dan perikanan (KKP), setelah penangkapan 7 pencuri ikan asal Malaysia di peraiaran Tanjung Berakit Kepulauan Riau. (Foto: ANTARA/ Reno Esnir/ama/10)
20 Agustus 2010, Jakarta -- Sebagai bangsa, Malaysia diyakini berambisi besar menjadikan dirinya dominan, setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Ambisi dengan mengusung status kemelayuannya itu menjadikan mereka bersikap sangat agresif, terutama saat dalam posisi tengah bersaing atau bersengketa dengan sejumlah negara tetangganya, terutama Indonesia.
Penilaian itu dilontarkan dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Andi Widjojanto, saat dihubungi via telepon, Kamis (19/8). Dia menambahkan, secara kebetulan Malaysia juga diuntungkan ketika eksistensi Indonesia di kawasan Asia Tenggara semakin melemah pasca-krisis multidimensi, yang terjadi mulai tahun 1997.
”Malaysia berambisi membesarkan rumpun Melayu dengan mereka sebagai pusatnya. Hal itu tampak dari beberapa usulan, mulai dari keinginan menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Asia Tenggara, membentuk Kaukus Asia Timur dengan Malaysia sebagai motornya, atau saat mengusulkan penamaan Laut Melayu untuk kawasan perairan meliputi Selat Malaka sampai Laut China Selatan. Padahal, jika itu terwujud, akan mengerdilkan Indonesia dengan konsep Nusantara-nya, yang justru secara ide jauh lebih besar,” ujar Andi Widjojanto.
Andi menambahkan, gagasan membesarkan rumpun Melayu resmi memang menjadi program pembangunan jangka panjang Malaysia, yang sekarang telah memasuki tahap ketiga. Dalam konteks pertahanan, Malaysia jauh lebih maju. Mereka mampu menempatkan kekuatan militernya sampai pos perbatasan laut terluar, khususnya kawasan yang tengah dipersengketakan.
”Malaysia juga kerap dan tidak ragu menetapkan teritorialnya secara unilateral (sepihak), terutama pascakemenangan mereka dalam sengketa Sipadan dan Ligitan. Kalau ada negara lain protes, mereka akan membawa persoalannya ke arbitrase internasional. Seharusnya kita juga berani melakukan hal seperti itu,” ujar Andi.
Andi juga memprediksi eskalasi perseteruan antara Indonesia dan Malaysia akan terus meningkat seiring peningkatan agresivitas Malaysia.
Untuk itu, pemerintah diingatkan agar jangan terjebak pada kebijakan luar negeri ”Seribu Teman, Nol Musuh”, apalagi jika hal itu hanya memosisikan Indonesia sebagai negara yang terlalu kompromistis dan selalu mencari jalan tengah seperti terjadi pada insiden di perairan Tanjung Berakit, di sebelah utara Pulau Bintan, Jumat pekan lalu.
Saat dihubungi secara terpisah di Jakarta, sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mengingatkan, pada masa lalu justru seorang tokoh Malaysia, Ibrahim Jaacob, menawarkan ide penyatuan Indonesia-Malaysia di bawah bendera Indonesia Raya.
Usulan itu disampaikan saat bertemu Ir Soekarno di Taiping, Perak, Malaysia, empat hari menjelang kemerdekaan Indonesia. Malaysia ketika itu menentang usulan tersebut. Asvi menilai gagasan itu perlu diingatkan dan diusung kembali, setidaknya untuk mengerem agresivitas Malaysia.
KOMPAS
No comments:
Post a Comment