Monday, July 6, 2009

Cuma Jadi Daerah Produksi, ”Tetangga” yang Berkembang Pesat

Di perairan Sebatik terdapat ratusan tempat penangkapan ikan. Hasil produksi nelayan Indonesia ini dijual ke Tawau, Malaysia. (Foto: kaltimpost)

7 Juli 2009, Sebatik -- Masyarakat Kecamatan Sebatik, Nunukan memasarkan berbagai produk pertanian, perkebunan, dan perikanan ke Tawau, Negera Bagian Sabah, Malaysia. Alasannya, terkait jarak yang lebih dekat, sehingga bisa menekan biaya transportasi.

Sudah tak lagi asing, perdagangan antara warga Malaysia dan Indonesia sangat mudah dilakukan di Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan dan Tawau, Sabah-Malaysia. Setiap hari puluhan ton ikan tangkapan nelayan Sebatik dijual ke Tawau. Begitu juga dengan hasil pertanian dan perkebunan, setiap hari diangkut ke Tawau puluhan ton.

Sementara dari Tawau, masyarakat Sebatik dan Nunukan membeli berbagai kebutuhan rumah tangga atau sembako, seperti gas elpiji, minyak goreng, susu (terutama Milo), tepung, bawah merah, bawang putih dan sebagainya yang kebanyakan sudah disubsidi Kerajaan Malaysia sehingga lebih murah. Selain itu juga kebutuhan pertanian dan pertanian seperti herbisida dan pestisida serta bahan bakar minyak.

“Soalnya harga di Tawau lebih murah ketimbang produk dalam negeri,” ujar Syahruddin, warga Desa Sungai Nyamuk, Sebatik, Nunukan. Selain itu juga karena hal ini sudah menjadi kebiasaan para petani yang sukar untuk diubah. Namun, tanpa disadari hal ini justru lebih menguntungkan Malaysia ketimbang Indonesia (masyarakat Sebatik).

Karena mereka mendapatkan hasil-hasil perikanan dan pertanian yang murah dan pasokannya terjamin. Sementara hasil penjualan masyarakat Sebatik kebanyakan juga dibelanjakan di Tawau, sehingga bisa memberikan dampak positif dan menguntungkan perekonomian di Tawau.

Kepala Badan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil Kaltim Adri Paton menilai telah terjadi perdagangan ilegal lintas batas antar-negara yang sebenarnya merugikan masyarakat Indonesia. Harga komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan masyarakat Sebatik dihargai rendah di Tawau atau harga komiditas ditentukan oleh para pedagang di Malaysia.

“Ini hasil penelitian saya selama beberapa hari mengunjungi Sebatik,” ujarnya kepada Kaltim Post saat mendampingi Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengunjungi Kecamatan Sebatik, Sabtu (4/7) lalu. Karena keterbatasan fasilitas dan transportasi, masyarakat Sebatik tak mempunyai pilihan untuk meningkatkan nilai komoditasnya. Pemerintah daerah diharapkan bisa mendorong dan membantu mengatasi persoalan ini.

Adri lebih lanjut mengatakan, Sebatik mempunyai potensi perkebunan dan pertanian yang cukup besar, seperti kakao, kelapa sawit, kopi, pisang, durian, mangga, rambutan dan buah-buahan lainnya. Selain itu potensi perikanannya juga sangat besar. “Tapi ternyata hasil-hasil itu dipasarkan di Sabah, Malaysia. Ini kerugian kita,” ujarnya. Setiap hari puluhan ton ikan dibawa ke Tawau.

Karena itu katanya, ke depan pemprov berharap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan instansi terkait lainnya bisa memanajemen hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan masyarakat Sebatik. “Paling tidak bagaimana pasar yang ilegal tadi menjadi legal, sehingga bisa menjadi pemasukan bagi pendapatan perkapita daerah kita atau bisa memberikan kontribusi bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah, Red.),” ujarnya.

Sekadar diketahui sektor perekonomian di Kecamatan Sebatik didominasi sektor perdagangan dan jasa pada daerah pesisir, sektor pertanian dan perkebunan pada daerah daratan serta sektor perikanan pada daerah pantai. Saat ini tercatat 1.653 kepala keluarga (KK) yang bekerja di sektor perkebunan dan paling banyak dikembangkan adalah komoditas kakao. Ada 985 KK yang bertani kakao dengan luas areal perkebunan 6.161 hektare. Sementara lahan sawah sebanyak 1.282 hektare.

Di Sebatik terdapat sub-terminal agribisnis (STA) Mekar Sari Aji Kuning dengan jumlah anggota 370 petani. Kapasitas pemasaran dari sub-terminal ini cukup besar. Misalnya, pisang per hari mencapai 5 – 8 ton atau 600 ton per bulan, coklat pada musim panen per harinya 30-50 ton dan 1.200 ton per bulan, sementara di luar musim coklat per hari bisa 2–5 ton atau 750 ton per bulan. Komoditas ini dijual ke Malaysia dengan menggunakan mata uang rupiah dan ringgit.

Salah seorang tokoh masyarakat Sebatik, Saleh mengatakan masyarakat Sebatik sudah terbiasa menjual hasil-hasil pertanian dan perkebunan mereka ke Tawau. Hasil penjualan itu langsung dibelanjakan di Tawau. “Kami sebenarnya berharap mereka membelanjakannya di Sebatik, sehingga perekonomian di sini bisa berkembang,” ujarnya. Namun katanya, harga barang di Sebatik lebih mahal dibandingkan Tawau.

Dia juga berharap pemerintah memerhatikan pangkalan pendaratan ikan di Sebatik. Pangkalan yang ada saat ini katanya, kurang dimanfaatkan para nelayan. Selain itu, yang juga menjadi masalah, Sebatik dan Nunukan tak memiliki cold storage (mesin pendingin ikan) sehingga mau tak mau nelayan harus segera menjual ikannya ke daerah terdekat, yakni Tawau.

Carikan Pasar

Sementara Gubernur Awang Faroek Ishak mengatakan, pemasaran komoditas dari Sebatik ke Sabah-Malaysia harus mendapat perhatian. Pemkab Nunukan katanya, diharapkan bisa mencarikan pasar untuk hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan di Sebatik. Jangan sampai penjualan komoditas itu ke Malaysia malah merugikan para petani dan nelayan.

Dia mencontohkan kelapa sawit. Lebih baik diolah di Sebatik untuk kemudian dipasarkan ke luar negeri, sehingga mempunya nilai yang tinggi. “Saya mendorong pemerintah setempat untuk membangun pabrik CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah, Red.) do sini. Saat ini di Kaltim sudah ada 26 pabrik CPO, sementara di Nunukan sudah ada 3 pabrik CPO,” ujar Faroek.

Dia berharap pengelolaan hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan di Nunukan, khususnya di Sebatik ke depan akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat Nunukan. “Ke depan kita harapkan harga komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan bisa kita atur. Kita yang menentukan harga bukan ditentukan pedagang Tawau,” tegasnya saat menggelar pertemuan di hadapan para tokoh masyarakat Sebatik Sabtu (4/7) lalu.

KALTIM POST

No comments:

Post a Comment