Sunday, October 31, 2010

Negosiasi Secangkir Kava di Sirec

Pasukan Indonesia tergabung dalam pasukan penjaga perdamaian PBB UNIFIL patroli di wilayah perbatasan Israel dan Lebanon di desa Adaisseh, Sabtu (9/10), empat hari sebelum Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad ke Lebanon. (Foto: Getty Images)

01 November 2010 -- Kepala desa menatap lurus pria muda berbaret biru yang berdiri di hadapannya. Mulut kepala desa, lelaki separuh baya bertubuh gempal, itu terkatup rapat.

Namun, pria tegap berseragam loreng tanpa senjata itu tetap tersenyum. Sedikit membungkuk, ia memperkenalkan diri sebagai Komandan Tim United Nations Military Observer (UNMO), pasukan penjaga perdamaian PBB. Dengan nada rendah dia berkata: ” Kami bukan pasukan penjajah. Kami ingin membantu Anda.”

Hari itu sangat panas dan berdebu. Jalanan desa sangat lengang. Seluruh penduduk desa telah lari ke bukit-bukit di sekitarnya. Angin bertiup kencang menyapu debu dan menyelimuti rongsokan mobil serta reruntuhan gedung. Di atas gereja tua terpampang sehelai spanduk lusuh, ”Tinggalkan Sekarang!”

Hewan ternak berkeliaran saat 28 anggota UNMO berkumpul di depan gereja, menunggu hasil pertemuan komandan tim dengan kepala desa. Tak lama, mereka mendekati warga desa yang mulai menampakkan diri satu per satu. Mereka menawarkan bekal makan siang kepada warga desa untuk disantap bersama. Akhirnya, kepala desa tersenyum.

”Kami sangat senang Anda berada di sini,” katanya pelan. ”Kami mempunyai adat yang kami junjung tinggi dan Anda menghormatinya.”

Kepulauan di Pasifik

Selamat datang di Santo Domingo, sebuah desa di tengah negara Sirec, tempat tinggal bagi para anggota UNMO selama satu pekan. Sirec bisa saja sebuah kepulauan di Pasifik atau negara kecil di Afrika. Luasnya hanya 198 hektar, tetapi memiliki bendera kebangsaan, mata uang, pasar, sekolah, tempat hiburan, kantor polisi, tempat ibadah, bengkel, dan kantor pemerintah, lengkap beserta pejabatnya.

Kenyataannya, Santo Domingo adalah desa buatan di pinggir Canberra, ibu kota Australia. Dibangun di atas tanah latihan peacekeeping, Majura, dengan biaya sebesar 2,8 juta dollar Australia. Kepala desa tadi hanyalah aktor dan para anggota UNMO adalah perwira siswa dari 10 negara: Australia, Banglades, Indonesia, Kamboja, Papua Niugini, Selandia Baru, Uganda, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Mereka disiapkan menjadi pasukan pemelihara perdamaian PBB.

Setelah tiga minggu di kelas, para anggota UNMO masuk tahap latihan di lapangan. Pada latihan puncak ini, para siswa ditargetkan praktik tanpa bantuan pelatih. Para instruktur dari Australia, Indonesia, dan Jerman menggunakan rompi warna kuning dan diasumsikan tidak terlihat. Instruktur menjadi wasit dan menjaga agar siswa melakukan prosedur dengan benar.

Pertemuan dengan kepala desa adalah upaya meningkatkan sensitivitas budaya. Para anggota UNMO bernegosiasi dan mendekati masyarakat dengan menawarkan makanan khas penduduk setempat, yakni rebusan kaki ayam dan secangkir kava lokal. Kava adalah minuman beralkohol rendah, dibuat dari akar tanaman kava. Warnanya coklat, rasanya pahit pedas. Tradisi minum kava jamak dilakukan rakyat Pasifik untuk tujuan sosial, budaya, keagamaan, politik, dan pengobatan.

Ini baru permulaan. Para anggota UNMO akan menghadapi lebih dari 100 skenario di desa buatan ini, mulai dari sikap bersahabat penduduknya sampai peristiwa penyanderaan oleh kelompok gerilyawan.

Pendidikan UNMO

Keterlibatan perwira TNI dalam pendidikan UNMO di Australia merupakan wujud kerja sama peacekeeping kedua negara. Selain untuk mencari titik temu standar PBB, kerja sama kedua negara juga dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari pengalaman masing-masing.

Sejak Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI berdiri 29 Januari 2007, jumlah personel TNI yang dikirim dalam misi PBB melonjak tinggi. Tahun 2007, 1.054 prajurit dikirim, bandingkan dengan 198 prajurit pada tahun 2005. Sekarang, prajurit TNI yang tersebar di Liberia, Darfur, Sudan, Kongo, Nepal, dan terutama Lebanon, mencapai 1.635 orang.

Bahkan, bila Indonesia dapat memenuhi permintaan United Nations Departement of Peace Keeping Operation untuk mengirimkan pasukan ke Afganistan dan Somalia pada 2011 dan 2012, jumlah personel akan mencapai 4.386 orang. Jumlah terbesar sejak Kontingen Garuda I pertama kali diberangkatkan ke Sinai, Mesir, pada tahun 1957.

Dalam misi di Kamboja tahun 1992, Kontingen Garuda mengukir sukses. Ceritanya, Khmer Merah, salah satu faksi yang bertikai, menyandera enam personel United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) di Anlung Ranh dan dua orang di Oslo, Kamboja. Panglima UNTAC membentuk tim gabungan sipil-militer untuk membebaskan sandera. Namun, tim ini gagal. Kemudian, perwira UNTAC terbang ke Kampong Thom untuk bernegosiasi. Namun, helikopternya urung mendarat saat mendengar bunyi tembakan.

Akhirnya, Panglima UNTAC meminta bantuan Kontingen Garuda. Kita setuju membantu. Syaratnya, tidak ada pasukan negara lain terlibat untuk mencegah mengeruhnya situasi. Tim ini menyiapkan tim negosiasi dan pasukan khusus reaksi cepat yang siap digunakan bila perundingan gagal. Meskipun sempat terjadi ketegangan, negosiasi berlangsung lancar. Akhirnya, semua sandera dibebaskan tanpa satu peluru pun keluar dari larasnya.

Misi PBB

Kenapa TNI ikut misi PBB? Ini adalah amanat Pembukaan UUD 1945. Nama Indonesia juga harum di forum internasional.

Karena itu, prajurit sadar bahwa misi pemeliharaan perdamaian itu sulit. Malah, lebih sukar ketimbang tugas tempur. Bayangkan, di samping harus punya kemampuan teknis militer berstandar internasional, seorang prajurit juga harus lolos psikotes yang standarnya amat tinggi. Belum lagi kendala bahasa. Ikut dalam misi PBB, lancar berbahasa Inggris jadi keharusan. Prajurit juga diharapkan mampu menggunakan bahasa setempat. Bagi penjaga perdamaian, kemampuan negosiasi dan komunikasi adalah senjata paling ampuh.

TNI dan Kementerian Pertahanan tengah membangun pusat latihan peacekeeping di Sentul, Bogor. Di atas lahan seluas 267 hektar akan didirikan kelas, perkantoran, barak, tempat akomodasi, dan sarana latihan lainnya. TNI juga berencana membangun desa buatan seperti Santo Domingo di Canberra.

”Melalui proses seleksi ketat dan pelatihan keras dengan standar disiplin dan profesionalisme tinggi, akan dihasilkan pasukan penjaga perdamaian yang andal,” kata Brigjen TNI I Gede Sumertha KY, PSC, Kepala PMPP TNI.

Brigjen TNI I Gede Sumertha merujuk pada insiden di perbatasan Lebanon-Israel pada 3 Agustus 2010 ketika terjadi ketegangan. Pasukan PBB dari Indonesia bertahan selama empat jam mengibarkan bendera PBB di antara pasukan Lebanon dan Israel yang saling membidik. Mereka berusaha membujuk kedua belah pihak untuk saling meredakan ketegangan. Akhirnya, Panglima United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) memerintahkan seluruh pasukan PBB untuk mundur, sesaat setelah kedua pihak saling membuka tembakan. Namun, karena pasukan Indonesia berhasil mengulur waktu di lapangan dengan negosiasi kepada kedua belah pihak, maka konflik ini tidak cepat meluas karena unsur pimpinan di tingkat atas memiliki cukup waktu juga untuk bernegosiasi.

Mayjen Alberto Asarta Cuevas, Panglima UNIFIL, menyampaikan apresiasinya kepada pasukan Indonesia. Ia menulis dalam suratnya, ”Situasi seperti itu hanya dapat ditangani oleh pasukan terlatih. Kalian contoh terbaik dari pasukan profesional.” (Kapten Kav M Iftitah Sulaiman S, Instruktur Pendidikan UNMO di Australia; Berdinas di Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI)

KOMPAS

No comments:

Post a Comment