Berita Pertahanan dan Keamanan, Industri Militer Indonesia dan Dunia, Wilayah Kedaulatan NKRI serta Berita Militer Negara Sahabat
Monday, April 26, 2010
Kesiapan Perang RI Mengkhawatirkan
27 April 2010, Jakarta -- Cadangan energi bahan bakar minyak (BBM) dan nuklir yang dimiliki Indonesia masih dalam kategori mengkhawatirkan, bila negara dalam situasi perang. Ketersediaan energi hanya mampu mencukupi sampai 20 hari.
"Jika Indonesia menghadapi peperangan, cadangan energi dalam negeri hanya cukup untuk 20 hari pertempuran," kata Kepala Subdit Evaluasi Pelaksana kebijakan Dirjen Strahan Kementerian Pertahanan, Kol TNI Sigit Priyono dalam diskusi di Kantor Kemhan Jakarta, Senin (26/4).
Cadangan energi yang hanya mampu bertahan 20 hari ini bertolak belakang dengan persepsi bahwa Indonesia kaya sumber daya alam. Bahkan sebaliknya, Singapura sebagai negara yang tidak memiliki kekayaan alam memiliki ketahanan cadangan energi 120 hari.
Padahal, menurut Sigit, energi BBM dan nuklir merupakan pendukung utama dalam pertempuran. Selain masalah energi, TNI juga belum memiliki kekuatan yang merata. Konsentrasi pasukan masih terpusat di Pulau Jawa. Bahkan untuk di Indonesia Timur, seperti di sebagian Maluku, katanya, ada wilayah yang seolah-olah kosong melompong dan tidak tercover oleh radar TNI AU. "Sementara ini kita menyiasatinya dengan radar dari angkatan lain dan juga bantuan radar sipil," tandasnya.
Paradigma Pertahanan
Sementara itu, Pengamat politik dan pertahanan dari Center for Strategic International Studies (CSIS), Edy Prasetyono, mengatakan, strategi pertahanan nasional harus segera diubah. Dia menyayangkan strategi pertahanan masih didominasi paradigma pertahanan tradisional yang berfokus pada daratan. "Indonesia harus mengubah cara berpikir," katanya.
Edy mengusulkan pentingnya peran strategi pertahanan di bidang maritim. Strategi Ini salah satu aspek kekuatan pertahanan minimum yang harus dimiliki Indonesia. "Karena lingkungan geostrategis dan keamanan baru berbasis maritim," ujarnya.
Hal ini penting, kata dia, untuk melindungi aset-aset strategis. Setiap tahun Indonesia mengalami kerugian puluhan miliar dolar karena lemahnya pengawasan laut dan udara. Selain itu, perkembangan perdagangan internasional makin menunjukkan pentingnya kawasan laut untuk jasa pengangkutan. "Keamanan jalur perdagangan dan kontrol barang yang diangkut telah melahirkan International Ship and Port Security dan Proliferation of Security Initiative," kata Edy.
Menurut Edy, perkembangan strategi pertahanan di kawasan Asia Pasifik lebih banyak dibentuk oleh aspek laut dan udara. "Ini terlihat dari prioritas pengembangan kekuatan pertahanan mereka yang menitikberatkan pada pengembangan kekuatan laut dan udara," ujarnya.
Cina misalnya, membelanjakan 56 miliar dolar AS dan Jepang 45 miliar dolar AS untuk pertahanan. Adapun negara-negara Asia Pasifik mengeluarkan 164,4 miliar dolar AS untuk pertahanan.
Yang menarik lagi, kata Edy, pengadaan persenjataan modern sekarang memiliki dua karakteristik, yaitu karakter ofensif dan dapat dipakai untuk melakukan proyeksi kekuatan ke luar batas nasional.
Proyeksi ke luar batas wilayah nasional sesuai dengan tuntutan geostrategis Asia Pasifik yang terbuka dan mensyaratkan senjata mobile dan fleksibel sesuai dengan sifat matra laut dan udara.
"Perang akan berlangsung cepat dengan fokus pada kontrol atau penghancuran aset-aset strategis. Bahkan perang menguasai wilayah pun, yang sekarang makin tidak populer, harus didahului oleh pengerahan kekuatan laut dan udara," kata Edy.
SUARA KARYA Online
Labels:
Hankam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment