Berita Pertahanan dan Keamanan, Industri Militer Indonesia dan Dunia, Wilayah Kedaulatan NKRI serta Berita Militer Negara Sahabat
Thursday, June 24, 2010
Menggunakan Kursi Lontar Tak Boleh Sembarangan
25 Juni 2010 -- Pengunaan kursi lontar pernah terjadi di Badara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau, pada (21/11) lalu, akibat sebuah pesawat tempur TNI Angkatan Udara, Hawk 200, mengalami kerusakan saat latihan rutin.
Berdasarkan laporan , kecelakaan terjadi pada ketinggian sekitar 2.000 kaki (609 meter) ketika pesawat tengah bersiap-siap mendarat (posisi down-wind) tiba-tiba mati mesin (engine failed). Pilot kemudian memutuskan mendaratkan pesawat.
Namun, karena pesawat tidak bisa dikontrol, pilot Mayor (Pnb) Muhammad Dadang pada saat terakhir memutuskan melompat keluar (eject) dari pesawat dengan kursi pelontar. Apa dan bagaimana kursi pelontar atau ejection seat itu? Ejection Seat merupakan sistem yang didesain untuk menyelamatkan penerbang dalam keadaan darurat atau emergency.
Umumnya, desain ini bekerja dengan prinsip dasar sebagai berikut: Kursi Pilot akan melontarkan penerbang keluar dari pesawat dengan menggunakan motor roket. Segera setelah kursi lontar keluar dari pesawat, ejection seat akan membuka parasut, dan dengan parasut inilah penerbang akan turun dengan selamat.
Sebelumnya konsep menggunakan kapsul juga telah dicoba, namun hasilnya tidak terlalu memuaskan. Percobaan-percobaan untuk menggunakan ejection seat sebagai sarana penyelamatan penerbang sudah dilaksanakan sejak 1910, tujuh tahun setelah pesawat terbang pertama berhasil diterbangkan oleh Wright Bersaudara.
Percobaan yang lebih intensif kemudian dikerjakan orang pada tahun 1938 dan selama perang dunia kedua. Pada waktu itu alat yang digunakan hanyalah parasut yang dibawa penerbang yang kemudian keluar dari pesawat dengan usahanya sendiri. Pengalaman kemudian memperlihatkan bahwa sangat sulit bagi seorang penerbang untuk dapat keluar dari pesawat di udara pada saat keadaan darurat.
Hal ini disebabkan antara lain, sempitnya ruang tempat duduk penerbang di kokpit, serta kerasnya tiupan angin yang berembus saat kokpit dibuka. Penerbang banyak yang tidak berhasil menyelamatkan dirinya keluar dari pesawat dengan hanya berbekal parasut dan usahanya sendiri secara manual. Pada Perang Dunia kedua, Heinkel and SAAB mulai mencoba mencari cara yang lebih baik guna menyelamatkan jiwa seorang penerbang pada saat keadaan membahayakan.
Mereka kemudian melaksanakan percobaan menggunakan tekanan udara untuk membantu melontarkan penerbang keluar dari kokpitnya. Pada tahun 1941, alat ini dicoba pada pesawat prototipe Jet Fighter He 280. Dengan demikian, penerbang cukup menekan tombol penggerak alat bertekanan udara tersebut pada saat hendak keluar dari pesawat dalam keadaan darurat. Setelah itu parasut akan membuka dan penerbang akan dapat dengan selamat tiba di bumi kembali.
Inilah antara lain yang menjadi cikal bakalnya sebuah ejection seat yang kini digunakan di hampir semua pesawat tempur. Setelah Perang Dunia kedua, tuntutan akan sebuah ejection seat menjadi penting artinya, seiring dengan kemajuan yang dicapai oleh industri pesawat terbang. Pesawat terbang menjadi lebih cepat dan lebih lincah dalam melaksanakan manuver- manuvernya.
Kondisi yang seperti ini tentunya memerlukan alat pengaman yang dapat diandalkan dan salah satunya adalah keperluan akan sebuah ejection seat yang lebih canggih lagi. Unit Udara Angkatan Darat Amerika melakukan percobaan-percobaan untuk menyempurnakan teknologi ejection seat yang telah ada pada waktu itu.
Akan tetapi, kemudian sebuah perusahaan di Inggris, Martin-Baker, berhasil membuat sistem ejection seat yang lebih baik dan dapat lebih diandalkan keampuhannya. Percobaan lapangan atau flight test yang pertama dilaksanakan oleh Martin-Baker Company, dilakukan pada 24 Juli 1946. Pada waktu itu Bernard Lynch yang menggunakan kursi lontar Martin-Baker selamat keluar dari pesawat Gloster Meteor Mk III.
Tidak lama kemudian, disusul pada 17 Agustus 1946 Sersan Larry Lambert yang menjadi orang Amerika pertama yang dapat dengan selamat keluar dari pesawat terbang menyelamatkan diri dengan menggunakan kursi lontar Martin-Baker. Saat itu kursi lontar masih menggunakan solid propellant yang diisi dalam tabung telescopic untuk digunakan melontarkan kursi penerbang keluar dari pesawat.
Dengan meningkatnya kemajuan teknologi yang mengakibatkan pesawat-pesawat tempur jet dapat terbang jauh lebih cepat lagi, maka kursi lontar dengan propellant ini menjadi ketinggalan zaman. Untuk mengatasinya, percobaan-percobaan yang menggunakan propulsi roket, dimulai.
Menggunakan propulsi roket yang memiliki daya lontar sangat cepat ini, maka kursi lontar atau ejection seat menjadi semacam peluru yang dilontarkan dari sebuah pistol. Pada permulaan tahun 1960, penggunaan rocket-powered ejection seat sudah dimulai, yaitu kursi lontar bertenaga roket untuk pesawat-pesawat terbang tempur berkecepatan supersonik, seperti pada pesawat F-106 Delta Dart.
Tercatat enam penerbang pernah melaksanakan bail out, keluar menggunakan kursi lontar bertenaga roket buatan Martin-Baker, dengan selamat dari pesawat yang berkecepatan 700 knots pada ketinggian 57.000 kaki. Sistem ini kemudian disempurnakan orang melalui proses research and development, penelitian dan pengembangan yang berkelanjutan sehingga kini para penerbang tempur dengan nyaman menggunakan kursi pelontar untuk menyelamatkan dirinya bila mereka menghadapi keadaan emergency di udara.
Tidak hanya itu, karena saat ini telah terpasang di pesawat-pesawat tempur, hampir di seluruh dunia kursi lontar dari Martin-Baker yang dapat digunakan tidak hanya di udara pada ketinggian yang tinggi dan pada kecepatan yang melebihi kecepatan suara, akan tetapi juga dapat digunakan pada ketinggian yang rendah di permukaan bumi dan pada kecepatan nol Wong Bee yang digunakan Pandam Udayana juga memakai jenis ini. (zero level dan zero speed) Kursi Lontar Martin-Baker dengan teknologinya telah berjasa banyak menyelamatkan penerbang dari bahaya yang dihadapi saat melaksanakan penerbangannya.
Termasuk apa yang dialami Mayor Dadang dengan pesawat terbang Hawk 200 yang dikemudikannya. Hingga tahun ini Kursi Lontar Martin Baker telah menyelamatkan 7.172 penerbang tempur dan pada tahun ini saja tercatat 31 penerbang telah selamat. Ditambah dengan Mayor Dadang di Pekanbaru pada tanggal 21 November yang lalu berarti telah 32 orang penerbang yang selamat menggunakan kursi lontar Martin-Baker pada tahun 2006 ini. Dan Total yang selamat sejauh ini menjadi 7.173 orang penerbang.
Kursi lontar ternyata juga diterapkan pada pengebom seperti B-52 Sratofortress. Hebatnya, seluruh awaknya dilengkapi piranti ini.
Kursi lontar sendiri diciptakan untuk menyelamatkan seorang penerbang yang sudah dianggap sebagai SDM mahal. Bayangkan, untuk menjadi seorang penerbang (khususnya) tempur, mereka harus lulus seleksi dari sekian banyak pendaftar. Setelah lulus, ia pun harus melalui proses pendidikan yang panjang dan lama serta diberi kepercayaan yang amat langka menerbangkan pesawat tempur yang jumlahnya relatif terbatas.
Prosedur eject harus dilakukan dengan benar, jika tidak malah bisa meningkatkan resiko kecelakaan. Kursi lontar dilengkapi roket berkekuatan besar untuk melontarkan pilotnya keluar pesawat hanya dalam hitungan detik. Beberapa merek kursi lontar yang terkenal adalah Aces II dan Martin Baker dengan kelebihan masing-masing.
Pada A-4 Skyhawk terdapat jenis zero-zero ejection seat yang bisa digunakan pada ketinggian dan kecepatan nol. Kursi lontar ini dapat melempar kursi berikut pilotnya sejauh 53 meter. Begitu roket pendorong aktif dengan menarik kabel loreng kuning-hitam yang terletak di antara kedua kaki, dalam waktu 0.25 detik kursi akan terlontar.
Lain lagi dengan yang digunakan F-5E Tiger II. Dengan daya dorong 700 kg, kursi jenis ini justru tak boleh diaktifkan pada kecepatan kurang dari 500 knot. Begitu kuatnya hingga pilot bisa terdorong hingga 43 meter dengan pengaruh gaya gravitasi mencapai 14G meski hanya berlangsung 0.19 detik.
‘Saya eject dalam keadaan siap. Malah sebelum terbang saya sempat memberikan briefing kepada para yunior tentang cara penggunaannya. Beberapa saat kemudian justru saya yang mengalaminya. Pesawat yang saya kemudikan (F-5) mengalami kerusakan mesin di ketinggian 3000 kaki (sekitar 1000m),’kenang Djoko Suyanto.
Seperti dikisahkannya, ia telah berusaha menghidupkan kembali mesin yang bungkam itu, namun selalu gagal. Tiada pilihan lain, ketika pesawat telah menghujam 1000 kaki, kedua kaki yang semula ada pada pedal rudder segera ditarik dirapatkan ke kursi, badan disandarkan sempurna, dan ditariklah trigger kursi lontarnya. Ini adalah prosedur standar. Tiga detik berikutnya roket pendorong menyala, kanopi terlepas, dan tak sampai sedetik berikutnya Suyanto tersadar telah berada di luar pesawat.
Jika pada F-16 terdapat kursi lontar Aces II yang bisa melontarkan pilot berikut kursinya dalam 0.25 detik dengan gaya 13G, Martin Baker hanya butuh 0.20 detik dengan gaya tarik 15G. Sepuluh penerbang TNI AU setidaknya pernah merasakan kerja Martin Baker, baik saat terbang maupun ketika masih dalam posisi di darat.
Surya
Labels:
Iptek
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment