Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro (kedua dari kanan) menyaksikan penyerahan tiga helikopter MI-35P buatan perusahaan Rusia, Rosoboronexport, di Lapangan Terbang Skuadron- 21/ Serba Guna, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Rabu (20/10). Helikopter tersebut akan dipakai TNI AD. (Foto: DISPENAD)
25 Oktober 2010 -- Negara dengan anggaran minim seperti Indonesia harus memilih dilema antara butter (mentega) atau guns (senjata). Butter atau dalam hal ini kesejahteraan, yang mencakup pendidikan dan subsidi untuk orang miskin, menjadi pilihan dengan prioritas dan urgensi yang lebih tinggi daripada senjata.
Hal inilah yang terjadi dalam rapat kerja Komisi I DPR dengan pemerintah, Rabu (20/10). Komisi I DPR berkompromi dan menerima pernyataan Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang menyatakan, negara hanya mampu mengucurkan Rp 2 triliun dari kebutuhan penambahan anggaran untuk pemenuhan kebutuhan pokok minimum senjata TNI sebesar Rp 11 triliun pada tahun 2011.
Kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI memang sudah parah. Seusai rentetan kecelakaan Juni 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan audit alutsista. Menurut Military Balance 2010, jurnal militer tentang kekuatan militer, Panglima TNI saat itu, Jenderal Djoko Santoso, menyampaikan, alutsista yang siap dari TNI Angkatan Darat hanya 62 persen, TNI Angkatan Udara 31 persen, dan TNI Angkatan Laut 17 persen.
Kenapa alutsista penting? Kita memang tidak ingin perang. Sudah menjadi tren dunia untuk menghindari perang konvensional, terutama karena menelan korban manusia dan juga menyerap anggaran yang seharusnya bisa untuk membangun kesejahteraan rakyat. Kita juga tidak ingin senjata itu digunakan untuk menyiksa rakyat, seperti yang kerap dialami saudara-saudara kita di Papua.
Namun, membeli alutsista itu seperti membeli asuransi. Seperti asuransi, pembelian alutsista tidak dibeli hari ini untuk dipakai besok. Perlu waktu untuk latihan penggunaan dan penggunaan bersama alat lain. Alutsista juga menjadi semacam ”tukang pukul” yang berdiri di belakang diplomasi kita. Tidak heran kalau Indonesia seperti melempem saat menghadapi diplomasi Malaysia dalam insiden petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa bulan lalu.
Kenyataannya kekuatan militer tidak bergeser dari ratusan tahun yang lalu untuk mengakuisisi dan melindungi sumber daya alam. Peta geopolitik pertahanan jadi mudah dibaca dengan melihat alokasi anggaran militer. Menurut Military Balance, anggaran pertahanan Australia tahun 2010 mencapai 2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB), Malaysia 1,8 persen dari PDB (2009), Singapura 4,8 persen dari PDB (2009), dan Indonesia 0,8 persen dari PDB (2009). Ini belum termasuk China, India, dan AS yang mondar-mandir di Laut China Selatan dan Selat Malaka.
Padahal, lagi-lagi disampaikan Military Balance 2010, konflik Ambalat menggambarkan tantangan maritim yang dihadapi Indonesia. Sementara anggaran pertahanan Indonesia disebutkan tidak mampu mengejar pengeluaran riil dari kebutuhan pertahanan, termasuk kebutuhan pensiunan dan pembelian senjata dari luar (sehingga selama ini dilakukan dengan barter). Oleh karena itu, militer Indonesia harus bertumpu pada upaya-upaya kreatif untuk membeli persenjataan.
Selama bertahun-tahun, sekitar 80 persen penyediaan alutsista dibeli dari luar negeri. Selain mahal, juga bukan rahasia lagi bahwa pembelian bersifat vendor driven alias tergantung dari pendekatan rekanan. Hal ini tidak saja membuat alutsista kita tambal sulam sehingga mahal dalam operasional dan pemeliharaan. Di sisi lain, dengan anggaran minim dan pembelian minim, postur militer kita menjadi jelas terbaca kekuatannya.
Revitalisasi industri pertahanan dalam negeri menjadi solusi yang kreatif dan melompat dari pola yang ada selama ini. Industri pertahanan milik negara, seperti PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Pindad, yang masih megap-megap kekurangan modal kerja, berusaha diangkat. Bergeraknya industri pertahanan membuat pergerakan roda ekonomi yang berkelanjutan, mulai dari tenaga kerja, pengolahan bahan baku, hingga devisa yang masuk kalau ekspor. Guns tidak lagi versus butter, tetapi menjadi guns and butter.
Di sisi lain, TNI membutuhkan pemenuhan kebutuhan alutsista yang diistilahkan sebagai minimum essential force (MEF) alias kebutuhan pokok minimum. Kementerian Pertahanan merencanakan pembangunan alutsista yang terdiri dari tiga tahap hingga 2024. Anggaran yang dihitung Kementerian Pertahanan untuk tahap I, yaitu 2010-2014, adalah Rp 150 triliun. Anggaran ini sebagian besar akan digunakan untuk revitalisasi industri pertahanan.
Ada tiga sumber dana untuk MEF, yaitu pinjaman luar negeri/kredit ekspor, pinjaman dalam negeri, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari dua unsur pertama telah terpenuhi Rp 100 triliun. Kekurangan Rp 50 triliun diharapkan bisa ditutup APBN. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Selasa (19/10), menyatakan, untuk tahun 2011 diharapkan APBN bisa menutup kekurangan Rp 11 triliun. ”Ini tidak bisa ditawar lagi. Lah ini untuk minimum essential force, namanya saja sudah minimum. Kalau lebih rendah lagi, yang kita kompromikan kedaulatan,” katanya.
Masalah kedaulatan di sini erat kaitannya dengan akses pada sumber daya alam. Ketika kapal-kapal ikan asing mencuri ikan di depan mata, apa daya. Jangankan senjata, mengejar saja kita tidak mampu. Belum lagi kalau kapal-kapal Malaysia mulai coba-coba masuk ke blok Ambalat yang banyak migasnya. Jangka panjangnya, bagaimana kalau pangkalan udara bisa digunakan untuk ekspor-impor. Lagi-lagi, di sini guns and butter bisa disatukan.(Edna C Pattisina)
KOMPAS
No comments:
Post a Comment