Tuesday, September 8, 2009

Menhan: Audit Senjata TNI Segera Selesai

Super Tucano kandidat pengganti OV-10 Bronco yang sudah digrounded setelah serangkaian insiden yang menewaskan pilot TNI AU. Realisasi pembelian hingga saat ini belum terealisasi dengan alasan keterbatasan anggaran. (Foto: Embraer)

8 September 2009, Jakarta -- Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan hasil audit alat utama sistem senjata yang dilakukan Departemen Pertahanan dan Mabes TNI segera selesai dan dilaporkan ke Presiden.

"Ya hasilnya untuk dilaporkan kepada bapak Presiden," katanya kepada ANTARA News di Jakarta, Selasa, saat ditanya seputar hasil audit alat utama sistem senjata yang dilakukan Departemen Pertahanan dan Mabes TNI dan telah selesai Juli lalu.

Mengenai kapan hasil audit tersebut dilaporkan kepada presiden, Juwono enggan berkomentar lebih jauh.

Sementara itu Kepala Biro Humas Departemen Pertahanan Brigjen TNI Slamet Heriyanto mengemukakan, proses audit alat utama sistem senjata masih memasuki tahap finalisasi mengingat banyaknya perlengkapan dan persenjataan yang harus diteliti satu per satu kondisinya.

"Alutsista yang diperiksa banyak sekali tidak saja satuan tetapi juga persenjataan perseorangan," katanya.

Pada kesempatan terpisah Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga meminta pemerintah untuk segera membeberkan hasil audit alat utama sistem senjata tersebut. "Hingga kini kami belum menerima laporannya seperti apa," katanya.

Ia mengatakan, dari hasil audit itu dapat dirinci perlengkapan dan persenjataan TNI yang masih layak pakai dan tidak, sehingga dapat ditindaklanjuti penanganannya.

Terkait itu, pihaknya akan mempertanyakan hasil audit itu dalam rapat kerja dengan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI pekan depan.

Beberapa waktu lalu, Departemen Pertahanan dan Mabes TNI membentuk tim audit bersama terhadap manajemen pembinaan, teknik dan anggaran seluruh alat utama sistem senjata TNI menyusul kecelakaan yang menimpa beberapa pesawat TNI hingga menimbulkan korban jiwa.

Komisi I Minta Senjata Tak Layak Tidak Dipakai

Pesawat latih Hawk 53 tidak lama lagi akan berakhir usia pakainya, tetapi hingga saat ini belum dilakukan kontrak pembelian pesawat penggantinya. Meskipun kandidat kuatnya sudah ditentukan pesawat buatan Republik Ceko L-159. (Foto: istimewa)

Komisi I DPR RI mendesak pemerintah dan TNI untuk tidak memakai perlengkapan dan persenjataan yang tidak layak operasional menyusul kecelakaan pesawat Nomad TNI Angkatan Laut hingga menimbulkan korban jiwa pada Senin (7/9) kemarin.

"Pesawat, panser, tank dan kapal yang sudah tidak layak operasional harusnya segera dikandangkan jangan dipaksakan untuk digunakan," kata Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga.

Ia mengatakan, keterbatasan alat utama sistem senjata TNI menyusul pengkandangan senjata tersebut akan dipenuhi melalui modernisasi persenjataan TNI sesuai anggaran yang tersedia.

"Dari hasil audit alat utama sistem senjata itu, seharusnya dapat diketahui alat utama sistem senjata dan perlengkapan TNI yang segera dikandangkan dan diganti," ujar Theo.

Berdasar hasil audit juga dapat diketahui alat utama sistem senjata dan perlengkapan apa saja yang diprioritaskan pengadaannya, katanya menambahkan.

Beberapa waktu lalu, Departemen Pertahanan dan Mabes TNI membentuk tim audit bersama terhadap manajemen pembinaan, teknik dan anggaran seluruh alat utama sistem senjata TNI menyusul kecelakaan yang menimpa beberapa pesawat TNI hingga menimbulkan korban jiwa sipil maupun militer.

Namun, lanjut Theo, hingga kini pihaknya belum menerima hasil audit alat utama sistem senjata yang dilakukan tim audit bersama Departemen Pertahanan dan Mabes TNI itu.

Pada kesempatan terpisah, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama TNI Iskandar Sitompul menyatakan, jumlah pesawat Nomad yang dimiliki tinggal tujuh unit.

Pesawat Nomad P-837 adalah buatan Australia tahun 1982 dan untuk nomor seri N24A-135 TNI AL memiliki dua unit.

7 Nomad Tidak Dioperasionalkan Sementara

Ian McPhedran menulis di Harian Herald Sun 27 Januari 2004, para pilot militer Australia menolak menerbangkan pesawat GAF Nomad setelah diketahui terjadi kesalahan perhitungan kekuatan. GAF memproduksi 170 pesawat sejak 1975 dan dihentikan produksinya 1985, sudah 100 pesawat jatuh, 24 total loss, 64 sedang dan ringan. Kemudian 18 pesawat Nomad dijual ke militer Indonesia senilai $2 juta. Ditangan para pilot militer Indonesia semua masalah yang terjadi di militer Australia hilang, angka insiden fatal tercatat 3 kali termasuk yang jatuh di Bulungan, Kaltim, Senin (7/9).

Penyebab jatuhnya pesawat Nomad P-837 TNI AL di 24 km barat Tarakan, Kalimantan Timur, sampai saat ini masih dalam penyelidikan tim investigasi TNI AL. 7 Pesawat Nomad lainnya yang kondisinya masih laik terbang untuk sementara waktu tidak dioperasionalkan.

"Tujuh pesawat Nomad lainnya yang kondisinya masih laik terbang diperintahkan oleh Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijanto untuk tidak dioperasionalkan untuk sementara waktu," kata Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (Kadispenal) Laksamana Pertama Iskandar Sitompul dalam rilis yang diterima detikcom, Selasa (8/9/2009).

Perampingan Struktur TNI Perlu untuk Dukung Kesiapan Alutsista


Masalah anggaran pertahanan yang terbatas seringkali menjadi perdebatan begitu kasus yang berkaitan dengan alutsista mencuat. Salah satunya adalah kasus jatuhnya pesawat patroli AL di Kalimantan, Senin lalu.

Anggota Komisi I dari FPKB Effendi Choiri mengatakan perampingan struktur mutlak diperlukan untuk menanggulangi keterbatasan anggaran. Ia menilai, anggaran pertahanan tersebut lebih banyak dialokasikan untuk belanja birokrasi daripada untuk peningkatan kondisi alutsista TNI.

"Mayoritas terserap untuk belanja birokrasi, sehingga untuk alutsista ini menjadi kecil. Kalau strukturnya semakin diperkecil, anggaran yang tersedia bisa digunakan untuk pengadaan," katanya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/9).

Menurutnya, struktur seperti korem, kodim dan kodam itu mesti diubah. TNI, ujar dia, sebaiknya hanya dialokasikan ke daerah perbatasan atau tempat konflik sesuai dengan tugas dan fungsinya menjaga pertahanan. Semestinya, tukas dia, hal ini sudah dilaksanakan sejak lama, tapi tidak juga dilaksanakan. Yang ada bahkan struktunya diperbesar. Maka itu, ia berpendapat bahwa reformasi itu hanya di undang-undang tetapi tidak sampai ke lapangan.

"Sebetulnya harusnya secara pelan sudah dilakukan, tapi ini tidak. Justru makin bengkak. Kita ini mengarah ke perang modern bukan tradisional, tapi kita malah tidak jelas arahnya. Perlu goodwill dari pemerintah dan TNI untuk itu," terang dia.
Jika hal itu bisa dilakukan, anggaran bisa dialihkan untuk pembaruan alutsista. Pasalnya, ia menilai banyak sekali alutsista yang harus diganti.

"Pesawat tempur lama smua, paling yang baru sukhoi. Kita juga perlu pesawat pengintai, untuk mengintai pelanggaran di udara, kapal pengintai yang belum jadi prioritas. Radar kita juga sudah bodong semua," pungkasnya.

ANTARA News/detikNews/MEDIA INDONESIA

No comments:

Post a Comment