Wednesday, June 23, 2010

Latihan Diplomasi Militer Tujuh Negara

Tentara Zeni dari Batalyon Zeni Tempur (Zipur 9) TNI dan Kompi 797 Batalyon 411 US Army Pacific yang berbasis di Guam menyerahkan puskesmas dan masjid yang disimulasikan sebagai bantuan dalam misi kemanusiaan PBB di Desa Margamulya, Cipatat, Padalarang, Jawa Barat, Senin (21/6). (Foto: KOMPAS/Dispen TNI AD)

24 Juni 2010 -- Tentara modern saat ini tidak hanya dituntut piawai bertempur. Seorang serdadu abad ke-21 juga harus bisa memenangi situasi krisis tanpa memuntahkan peluru.

Kemampuan menguasai keadaan tanpa harus menumpahkan darah adalah salah satu fokus latihan gabungan Garuda Shield 2010. Latihan yang menghimpun ratusan prajurit TNI, Angkatan Darat Amerika Serikat (US Army), Thailand (Royal Thai Army), Banglades, Filipina (Armed Forces of the Philippines/AFP), Nepal, dan Brunei mengasah kemampuan diplomasi para prajurit dalam misi kemanusiaan.

Kepiawaian menggelar tugas nontempur (military operation other than war/MOOTW) menjadi kunci sukses dalam penugasan sebagai pasukan penjaga perdamaian (Peace Keeping Forces) ataupun pengamat militer (military observer).

”Kita saling berbagi pengalaman. Indonesia dikenal mendapat kepercayaan dalam tugas peace keeping. Sebaliknya, militer AS lebih dikenal dalam kemampuan peace making. Kita saling berbagi pengalaman,” ujar Kapten (Infanteri) Leo, anggota TNI Angkatan Darat yang menjadi peserta Garuda Shield.

Leo yang pernah menjalani pendidikan dasar militer di Amerika Serikat bisa melihat pendekatan operasi dari sudut pandang Amerika dan Indonesia.

Pelbagai skenario dimainkan oleh anggota pasukan masing-masing negara. Semisal Force Protection (perlindungan satuan) yang mengawal sebuah konvoi di daerah konflik. Untuk simulasi, digunakan dua kendaraan pengangkut berlapis baja (armoured personnel carrier/APC) dan beberapa truk.

Sepasang APC itu berperan sebagai pelindung konvoi misi kemanusiaan. Kendaraan bergerak di dalam kompleks Pusat Pendidikan Infanteri (Pusdikif) Cipatat, Kabupaten Bandung, yang memiliki medan berbukit dan kelokan tajam.

Cara mengawal dan menghadapi situasi krisis oleh masing-masing kontingen dinilai oleh negara lain. Ada skenario penghadangan dan melindungi perempuan serta anak, penegakan hak asasi manusia, membantu penciptaan tertib sipil, dan menjadi penengah dengan memfasilitasi perundingan antarpihak yang terlibat konflik.

Skenario tentang adanya beberapa negara di Pasifik yang terlibat konflik turut digelar dalam Garuda Shield. Upaya penyelesaian konflik secara saksama diusahakan para peserta latihan berdasar pengalaman dan strategi masing-masing.

Setiap kontingen, di luar rombongan TNI dan US Army, membawa satu peleton serdadu atau sekitar 40-an prajurit. Acara tersebut juga dihadiri sejumlah perwira militer asing dari matra laut dan matra udara. Anggota misi militer negara ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura, juga terlihat meninjau latihan tersebut.

Ada kontingen militer negara ASEAN yang anggotanya dinilai tidak sigap dan kurang aktif. Pasalnya, militer dan masyarakat di negara tersebut terbiasa hidup diayomi negara dengan segala fasilitas kesejahteraan ala Kuwait.

Pembangunan fisik juga dikerjakan kontingen Zeni (Engineer Corps) yang diwakili Batalyon Zeni Tempur (Zipur 9) dan Kompi Zeni US Army 797 dari Batalyon 411 Komando Pendukung Misi ke-9 yang berbasis di Guam, sebelah utara Papua. Sejumlah mesjid, puskesmas, dan gedung serbaguna dibangun sebagai simulasi bantuan kemanusiaan.

Banglades-Thailand

Mayor Anis dan Mayor Moushor dari Angkatan Darat Banglades dengan bangga mengklaim pelbagai kisah sukses militer mereka dalam penugasan PBB. ”Saya pernah bertugas di Kongo. Mayor Anis di Kosovo,” kata Moushoor.

Demikian pula kontingen Thailand yang diwakili Royal Thai Army (RTA) dikenal tanggap dalam penanganan bencana alam. Selain itu, Thailand memiliki pengalaman terlibat sebagai pihak bertempur dalam Perang Dunia II, Perang Korea, dan Perang Vietnam.

RTA diketahui memiliki keunggulan tambahan dari sisi perlengkapan. Sepanjang Perang Vietnam hingga kini, RTA banyak menerima perlengkapan militer modern dari Amerika Serikat yang tidak dimiliki negara tetangga lain di ASEAN kecuali Singapore Armed Forces (SAF).

Para perwira dan prajurit belajar tentang kelebihan dan kekurangan standar operasi yang dimiliki masing-masing negara. Kapten Lloyd Phelp, perwira penerangan dari US Army Pacific (USARPAC) yang berbasis di Hawaii dan membawahi wilayah Samoa dan Guam, mengaku, Amerika belajar banyak dari pengalaman misi penjaga perdamaian yang dimiliki TNI.

Di lain pihak, TNI dapat mempelajari pola pendekatan dan hubungan para prajurit USARPAC yang sebagian besar berasal dari Garda National (National Guard) yang dalam keseharian memiliki profesi nonmiliter. Sebagai contoh adalah Lloyd Phelps yang di luar tugas militer bekerja sebagai jaksa penuntut (district attourney) di Negara Bagian Hawaii.

Sebagian perwira yang terlibat dalam Garuda Shield sudah pernah mengikuti misi PBB. Latihan di Bandung tersebut semakin mengukuhkan peran diplomasi prajurit sebagai salah satu elemen hubungan internasional dalam penyelesaian konflik.

Meski bersifat latihan dengan fokus operasi kemanusiaan, pada praktiknya tak semua ”ilmu” dibagikan oleh peserta latihan kepada rekannya.

KOMPAS

No comments:

Post a Comment